Rabu, 30 Desember 2009

PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT



BAB I

PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT

A)     Konsep dan Dimensi
Bagi manusia, yang secara eksistensial-fitrati adalah “homo religious”, yang mana agama merupakan dimensi kebutuhan hidup yang sangat penting. Sehingga diakui, walau hingga kini kesepakatan konseptual ikhwal definisi agama yang dapat diterima semua pihak sulit terumuskan, namun dalam realitasnya, agama tetap ditempatkan sebagai institusi kultural yang sentral oleh masyarakat di sepanjang sejarah peradabannya. Oleh karena itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa 83% lebih penduduk dunia mengakui keberadaan agama. Dan hanya 16,4% saja yang karena faktor latar belakang tertentu menolak kehadiran agama dalam realitas kehidupan.
Emilie Durkheim, seorang sosiolog pemrakasa analisis sosiologis tentang agama yang mendefinisikan bahwa agama sebagai sistem kepecayaan dan praktek, dimana suatu masyarakat atau  kelompok  berjaga-jaga menghadapi persoalan terakhir. Dan juga agama merupakan seperangkat jawaban koheren atas dilema keberadaan manusia sehingga menjadikan kehidupan didunia lebih bermakna.
Dari rumusan definisi Durkheim mengenai agama dan sebagian besar sosiolog ini,  dapat dirumuskan bahwa pada dasarnya setiap agama, terutama agama wahyu (revealed religion) dan agama nir-wahyu (non-revealed or cultural religion), yang dalam hal ini memiliki tiga dimensi dasar religiositas (keberagamaan), yaitu: Pertama, adalah keyakinan beragama (religious belief) yang disebut pula dengan dimensi idiologis (ideological dimension). Dimensi ini berkaitan dengan pengakuan dan penerimaan terhadap sesuatu atau dzat “yang sakral”, “Yang Maha Besar” sebagai suatu kebenaran atau suatu kenyataan. Kedua, Praktek keagamaan (religious practice) atau bias disebut dengan dimensi ritualistic (ritualistic dimension). Dimensi beragama ini, berkaitan dengan aspek peribadatan, upacara-upacara peribadatan yang dilakukan pemeluknya dalam rangka menyembah, mengabdi, atau menghormati Tuhan yang diimaninya. Ketiga, pengalaman beragama (religious experience dimension) yang meliputi perasaan dan persepsi tentang proses kontaknya dengan apa yang diyakininya sebagai “the ultimate reality”, “devine power” atau Sang Ilahi, serata penghayatan terhadap hal-hal yang religius. Seperti halnya, ketika umat Muslim mendengar bacaan ayat suci Al-qur’an, suara adzan, atau Kur “Halleluyah” (kaum kristiani), yang mana dalam hal ini terjadi proses internalisasi sehingga membentuk struktur psikis (perasaan) tertentu yang diistilahi sebagai pengalaman beragama.
B)      Peran Agama bagi Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memegang peranan yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di tengah-tengah masyarakat tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku. Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting, dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan negara.
Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal kultur maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga agar masyarakat tetap konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai kemanusiaan yang mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta dapat saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah awal yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani.
Beberapa fungsi agama secara sosiologis dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama, fungsi edukatif, yanng berkaitan dengan upaya pemindahan dan pengalihan (transfer) nilai dan norma keagamaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, fungsi terdasar dan paling universal dari apa yang diperankan oleh hampir semua jenis agama baik kategori agama wahyu maupun bukan wahyu adalah bahwa agama memberikan orientasi dan motivasi serta membantu untuk mengenal dan memahami sesuatu hal yang ”sakral” atau makhluk tertinggi.
Kedua, agama berfungsi penyelamatan. Dalam kaitan ini, agama memberikan rasa kedamaian, ketenangan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai persoalan sulit yang dihadapinya. Agama membimbing dan mengarahkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan juga memberikan harapan-harapan ketika manusuia berada dalam situasi ketidakpastian, penderiataan, kekecewaan, frustasi, atau kemiskinan. Ketiga, adalah fungsi agama sebagai kontrol sosial (pengawasan sosial). Kontrol sosial yang dimaksud adalah seluruh pengaruh kekuatan yang menjaga terbinanya pola-pola kelakuan dan kaidah-kaidah sosial milik masyarakat. Dalam hal ini, agama sebagai sistem norma dan sistem nilai yang memberikan pembatasan (limitasi) mdan pengkondisian (conditioning) terhadap tindakan atau perilaku individu atau masyarakat, sehingga dapat mengarahkan tercapainya tujuan masyarakat itu sendiri. Jadi, agama dapat disimpulkan lebih jauh pada kenyataannya bukan semata merupakan persoalan keyakinan pribadi yang melekat dalam diri individu, melainkan juga memiliki dampak sosial bagi masyarakat secara keseluruhan sebahai hakikat kolektifnya. Dengan demikian, agama apapun namanya, sebagai sistem norma dan nilai maupun sebagai sistem relasi sosial mempunyai daya ubah (transformabilitas) bagi masyarakatnya, terutama bagi komonitas pemeluknya.


C)     Islam sebagai Agama Wahyu
Islam sebagai agama wahyu pada hakikatnya merupakan: a) suatu system keyakinan (belief system) dan sistem kaidah normatif (normative system) yang berasal dari Allah, yang mengatur tata kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam lainnya, b) yang semua itu bertujuan dengan mengarahkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Yang mana sebagai sistem nilai dan norma, Islam mempunyai dua sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Selain itu, juga mendasarkan diri pada sumber tambahan yaitu Al Ijtihad yang dalam bentuknya berupa Ijma’.
Akidah yang diposisikan sebagai akar dan pokok dalam agama Islam, yang mana Agama Islam mengajarkan konsep rukun Iman yang dikenal dengan Arkanul Iman yang merupakan rukun-rukun Iman. Sedangkan agama Islam kaitannya dengan akhlaq, yang pada dasarnya akhlaq Islam berkaitan dengan kaidah nilai yang mendasari tata hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan manusia (terhadap diri sendiri, tetangga, atau masyarakat) serta manusia dengan unsur alam non manusia.

BAB II
SEKULARISASI: FENOMENA SOSIO RELIJIUS

A.    Pengertian Sekularesasi
Istilah sekularesasi sara semantik memiliki arti atau makna yang besifat “univok” dalam arti memiliki ragam pengertian yng berfariasi namun bernuansa sama, dikarenakan konteks dan dan titik tolak yang berbeda. Kemudian dalam perkembangan historisnaya, istilah tesebut mengalami perkembangan semantik yang pesat. Sehingga sekularisasi kerap kali ditafsirkan Dan mendapat arti yang berbeda-beda tergantung pada topik, sudut pandang pembicaraan atau pada tujuan dan objek kajian yang digelutinya.
Oleh karena itulah, dalam rangka pemahaman terhadap konsep sekularisasi, niscaya diperlukan sekali pemahaman mengenai konsep Agama yang dijadikan titik pijak perumusan pengertian sekularisasi itu sendiri.
Dilihat dari perspektif di atas ( kelembagaan) maka agama dapat dipandang sebagai suatu organisasi, wadah, atau lembaga. Yakni suatu bentuk system social yang dibentuk olah para penganutnya ang berproses pada kekuata-kekuatan non empiric yang dipercayai dan dipergunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat umumnya.
 Dalam buku ini dijelaskan bahwa agama mempunyai kekuatan, wewenang yang memiliki peran dan fungsi fundamental mengurusi atau mengelola segenap aktivitas relijius. Diantaranya, agama berfungsi untuk mengatur dan melengapi kebutuhan relijius masyarakat atau kebutuan hidup yang terkait dengan nilai-nilai relijiusitas, humanitas, atau sepritualitas yang diperlukan oleh para penganutnya. Ada empat fungsi sekularisasi yang akan di jelaska yaitu:
Sekularisasi sebagai suatudecline of religion yaitu kemerosotan/ kemunduran suatu lembaga agama barang kali merupakan suatau dalil perihal skularisasi terpopuler dikalangan masyarakiat, yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa agama sebagai suatu embaga social-relijius yang mengalami penurunan bahkan lebih dari itu.
1.      Sekularisasi sebagai proses deferensiasi, yaitu merupakan bentuk perubahan dinamika progresif dalam suatu organisasi yang berkaitan dengan klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanya sama, atau proses dimana peran-peran masyarakat bertambah banyak dan meningkat spesialisasinya.
skularisasin sebagai proses rutinisasi, secara sosiologis dapat difahami sebagai gejala dari suatu proses skularisasi.
skularisasi sebagai proses pelepasan, yaitu pelepasan dari kehidupan dan nuninasi institusi agama atau kewanangan lembaga gereja.

B.     Sejarah Perkembangan Skularisasi
Modernitas dan kehidupan dalam sejarah peradaban dan kebudayaan moderen lahir sejak abad Renaisance, sekitar 1400-1600,  dan peradaban baru pada mulanya terjadi di italic, terus menjalar keseluruh penjuru Eropa. Ilmu pengetahuan, sastra, seni, dan tata cara peradaban baru memperlihatkan adanya perkembangan baru. Setelah sekitar 2000 tahunan, sekularisasi mulai hadir sebagai kekuatan yang memperjuangkan humanisme sekular, dengan mengumandangkan ajaran baru yang bersifat saintifik, rasiona dan naturalistic.
C.    Sekularisasi sebagai Proses Perubahan tentang PeranAgama dalam Masyarakat.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, agama mempunyai peran dan fungsi yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Terutama bagi masyrakat tradisional, yang pada umumnya sosio kulturalnya sangat menghargai nilai-nilai tradisional. Di samping itu juga peran tokoh agama berpungaruh besar atas proses kehidupan. Itulah bukti sejarah betapa hububgan masyrakat dan agama dalam kehidupam tradisional sangat kuat, lekat bahkan kadang menyatu. Dan masyrakat ini menganggap bahwa agama sebagai bagian dari keseluruhan hidupnya.
D.    Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tumbuhnya Sekularisasi.
Skularisasi secara kognitif diartikan sebagai proses perubahan perseosi terhadap peran atai fungsi dan kedudukan agama dalam masyrakat, dimana agama tidak lagi dianggap nsebagai dominant dan determinative dalam proses kehidupan manusia, secara filosofis dipengaruhi oleh berbagai madzhab pemikiran filsafat. Aliran yang mempengaruhi antara lain adalah rasionalisme, empirisme, positivisme, materialisme, dan juga saintisme.
E.     Kecenderungan  Sekularisasi.
Yaitu kecondongan yang menjadi arah dari satu gejala. Dengan demikian, apa yang dimaksud yaitu sebagai suatu proses skularisasi. Karena itu apa yang  hendak dipebincangkan dalam hal ini adalah bagaimana kecenderungan arah skularisasi  ynag notabenanya merupakan suatu proses circulus vitiosus dari suatu gejala sosio-kultural dan sosio idiologos. Setelah kita amati maka ada dua kecenderungan, yaitu kecenderunga yang nampak terjadi dan mengejala terhadap masyarakat beragam khususnya, dan untuk masyraka umunya adalah:.1.Kecenderungan rasionalisasi. 2.kecenderungan skularisme


BAB III
PERAN INSTITUSI AGAMA/ KEAGAMAAN
 DALAM MASYARAKAT

Pemeranan institusi agama / keagamaan (Islam) oleh masyarakat Muslim kelas menengah berkaitan dengan aspek, bagaimana masyarkat tersebut memposisikan, memerankan, atau memfungsikan agama dalam kehidupan kesehariannya. Adapun yang dimaksud dengan institusi adalah organisasi atau forum yang mewadahi dan berfungsi mengelola segenap aktifitas atau kebutuhan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) masyarakat. Sub aspek atau indikator-indikator yang berkaitan dengan institusi keagamaan antara lain adalah pemeranan atau persepsi tentang organisasi keagamaan serta tingkat partisipasi keagamaan masyarakat kelas menengah.
Institusi keagamaan termasuk salah satu dari lima institusi dasar yang harus terdapat dalam suatu masyarakat. Ke lima institusi itu adalah rumah-tangga, pemerintahan, pendidikan, hukum, dan agama. Institusi keagamaan diperlukan untuk melayani umat dalam melaksanakan kehidupan keagamaannya serta memelihara kelangsungan dan pewarisan agama kepada umatnya. Karena itu dalam masyarakat terdapat institusi peribadatan/kebaktian seperti masjid, gereja, pura, dan wihara. Selain itu terdapat institusi keagamaan lainnya. Meskipun fungsinya sama, tetapi suatu instusi agama berbeda secara nyata dari institusi agama lain. Umat suatu agama, merupakan indikator eksistensinya agama itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia terdapat umat Islam, umat Protestan, umat Katolik, umat Hindu, dan umat Budha. Kehidupan keagamaan umat suatu agama sangat bervariasi baik dari segi pengetahuan agama maupun pelaksanaan agama.
A)      Pemeranan Tokoh Agama dalam Masyarakat
Pada dekade terakhir telah terjadi perubahan persepsi masyarakat Muslim kelas menengah tentang keberadaan dan peranan institusi agama/ keagamaan Islam. Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan serta angket, menunjukkan bahwa: Sebagian besar atau lebih dari 60% masyarakat kelas ini kurang memandang peran dan kedudukan serta fungsi tokoh agama pada posisi yang sangat penting dan menentukan dalam proses kepemimpinan di masyarakat. Tokoh agama sebaliknya dipersepsi hanya sebagai pemimpin yang berfungsi dan bertanggung jawab atas berbagai kegiatan keagamaan dalam pengertian sempit yang mengurusi kegiatan Ibadah sehari-hari, seperti penyuluhan agama, memimpin upacara ritual keagamaan (menjadi imam masjid, khotib, pembaca do’a, menikahkan, mengurusi peringatan hari besar Islam, dan ritus keagamaan lainnya). Adapun posisi peran agama seperti halnya yang diperankan oleh kyai dan ustadz yang tidak lagi sebagai pengambil keputusan paling dominan di masyarakat. Yang tidak seperti dekade lalu di mana tokoh agama diperankan sangat strategis dan determinatif dalam pengambilan keputusan. Dewasa ini, mereka hanya diposisikan sebagai salah satu pihak yang dipersepsi dapat memberi masukan bagi pembuatan keputusan berkenaan dengan persoalan masyarakat luas.
Adapun dampak dari penerimaan derajat ketokohan pemuka agama, maka otoritas tokoh agamapun mengalami penurunan. Perintah, instruksi ataupun himbauan yang dikeluarkan oleh tokoh agama (kyai, ustadz, politisi agama) menjadi kurang efektif tingkat implementasinya. Walau tidak dapat dipungkiri masih terdapat sebagian kecil tokoh agama sangat dihormati, diikuti perintah dan nasehatnya, namun relative kecil jumlahnya. Yang tidak seperti beberapa dekade lalu, perintah seorang tokoh agama sangat dipatuhi umat (masyarakat) nya. Tapi kenyataannya, kini masyarakat (umat) cenderung menseleksi terlebih dahulu sebelum melaksanakan atau menolaknya. Masyarakat cenderung memilih jenis apa yang diberikan, sejauh mana tingkat atau bobot perintah tersebut, bila di laksanakan serta apa resiko yang bakal diterima jika dilaksanakan.
Tokoh agama pada beberapa dekade lalu, terutama pada era pra-kemerdekaan memiliki wewenang yang sangat tinggi sehingga pendapat, keputusan, maupun nasehatnya hamper selalu diterima bulat oleh pengikutnya (jamaah) tanpa berkir panjanga ataupun terlalu lama dalam mengambil keputusan tersebut. Namun demikian, pada dekade terakhir di ujung abad 20 ini, ternyata otoritas tokoh agama di mata kelas menengah mengalami pergeseran posisinya. Otoritasnya yang tidak lagi selalu efektif diterima, apalagi implementasikan oleh jamaah. Yang tidak seperti jauh sebelumnya, daya legitimasi tokoh agama atau kyai menurun.
Perubahan atau pergeseran persepsi masyarakat tentang fungsi wewenang kharismatik dan wewenang legal tamp-ak mempengaruhi sikap atau persepsi masyarakat kelas menengah yang relative kurang menempatkan wewenang tokoh agama pada tempat paling atas dalam berbagai aspek. Akibat perubahan yang terjadi dalam aspek kemampuan mempengaruhi umat dan daya legimitasi otoritas tokoh agama yang cenderung mengalami penurunan, maka penghormatan (social respect) dan kredibilitas tokoh agama juga cenderung menurun pula.
B)      Pemeranan Organisasi keagamaan dalam Masyarakat
Organisasi merupakan entitas yang memberi peluang masyarakat (kelompok) untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi dengan demikian, ditandai oleh perilaku anggotanya kea rah pencapaian tujuan (general oriented behavior), yang tidak bias dicapai sendiri. Organisasi agama/ keagamaan oleh karena itu merupakan entitas yang mewadahi aktivitas keagamaan dalam upayanya mencapai suatu tujuan. Dalam hal ini, organisasi keagamaan yang dimaksud meliputi institusi atau lembaga keagamaan baik formal maupun informal. Sebagai institusi keagamaan, maka organisasi keagamaan ini di satu pihak bisa dipahami sebagai wadah yang mengatur/ mengelola aktivitas keagamaan sebagai kebutuhan dasarnya dan di pihak lain dapat dikonsepkan pula sebagai cara bertindak yang mengikat. Adapun dalam pengertian terakhir, institusi agama dipandang sebagai keseluruhan komponen yang dipadukan yang dinilainya merupakan bentuk cara hidup dan cara bertindak yang mengikat. Dan konsekuensinya kegiatan –kegiatan yang dilakukan dalam institusi harus disesuaikan dengan peraturan institusi.
Demekian pula, pelanggaran terhadap norma dan pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal. Dan dalam institusi, keterikatan norma dan pola tersebut diperankan begitu penting bahkan diperkuat dalam ataupun dengan sanksi demi tercapainya kelestarian ketahanan secara berkesinambungan. Dalam penilaian ini, pemeranan organisasi keagamaan dalam masyarakat dapat difokuskan pada bagaimana pendudukan atau pemungsian organisasi atau institusi keagamaan dikalangan masyarakat. Dengan demikian masalah yang difokus adalah meliputi pengetahuan masyarakat Muslim kelas menengah terhadap berbagai organisasi baik formal maupun informal, penerimaan atas kehadiran, keterlibatan dalam organisasi serta harapan yang ditumpukan kepadanya.
C)     Partisipasi Keagamaan Masyarakat
Partisipasi keagamaan sebagai sub-masalah berkaitan dengan peran agama meliputi beberapa indikator untuk mengukurnya. Indikator-indikator tersebut adalah partisipasi (masyarakat) dalam shalat berjama’ah, partisipasi dalam pengajian, partisipasi dalam pendidikan keagamaan termasuk aspirasi dan motivasi, keterdaftaran (enrolledness) dan keaktifan dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan, keaktifan mendengarkan/ menyimak siaran keagamaan di radio dan TV serta keterlibatan dalam aktifitas sosial-keagamaan lain.
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam aktifitas pengajian dan pendidikan agama (keagamaan) menurut pengamatan beberapa informan menunjukkan keadaan kurang bahkan tidak memadai jika dilihat dari tuntutan agama itu sendiri. Pengajian, baik pengajian subuhan (kuliah shubuh), mingguan atau rutin bulan, hanya diikuti sejumlah masyarakat, karena dalam hal ini massyarakat kurang ter tarik untuk mengikutinya (pengajian yang diadakan) dikalangan masyarakat sekitar. Partisipasi aktif masyarakat, ketika mendengarkan siaran keagamaan yang biasa ditayangkan waktu shubuh dan hari-hari besar agama Islam kurang diminati. Oleh karena itu, hasil penelitiannya menunjukkan betapa rendahnya frekuensi kelas ini mengikuti acara siaran keagamaan (hanya 3,4%), apalagi disbanding pemirsa program hiburan yang mencapai lebih dari 50%-nya serta siaran berita (32,5%) dan program lainnya.
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian terhadap indikator-indikator berkaitan dengan pemeranan tokoh agama, pemeranan tokoh agama terhadap organisasi/ lembaga keagamaan serta partisipasi keagamaan masyarakat, bisa ditarik kesimpulan:
1)      Terjadi Proses Menurunnya Wibawa Pemimpin/ Tokoh Agama
Pada dekade terakhir, penghargaan masyarakat Muslim kelas menengah terhadap pemimpin/ tokoh agama (ulama’, pejabat Departemen Agama, ustadz, mubaligh, dan lain-lain) relatif menurun atau berkurang. Pada dekade terakhir ini, nampak pemimpin agama hanya dalam aktifitas keagamaan saja seperti kegiatan ibadah sehari-hari, peringatan hari-hari besar, dan sxebagainya. Namun, pada kegiatan-kegiatan non-keagamaan, pemimpin agama kurang memperoleh posisi yang menentukan.
2)      Terjadinya Perubahan Persepsi Menurunnya Signifikasi Sosial Lembaga Keagamaan
Berdasarkan temuan, diindikasikan bahwa lembaga keagamaan kurang popular bagi masyarakat Muslim kelas menengah. Hanya beberapa jenis lembaga keagamaan yang dilihat dan diperankan  oleh masyarakat seperti lembaga pendidikan Majelis Taklim dan lembaga pernikahan.


3)      Rendahnya Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Aktifitas Keagamaan
Terjadinya perubahan persepsi masyarakat tentang keberadaan dan apa yang diperankan agama dalam kiprah kehidupan masyarakat, secara sosiologis, tampak menjadi penyebab dominant rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam aktifitas keagamaan.

BAB IV
IMPLEMENTASI NORMA KEAGAMAAN

Penulis memaparkan implementasi norma keagamaan pada masyarakat kelas menengah (Muslim) yang ada di Bekasi dalam 5 (lima) aspek, yakni: kehidupan politik, kehidupan ekonomi, hubungan sosial, kependidikan dan gaya hidup.
1.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Kehidupan politik
 Dalam kehidupan politik, masyarakat kelas menengah sebagian besar dalam memilih pemimpin, baik pemimpin lokal maupun nasional cenderung didasarkan pada kriteria dan pertimbangan rasional sesuai dengan interes pribadi atau kelompok. Mereka belum mempergunakan kriteria yang digariskan oleh agama yang dianutnya. Demikian juga dalam aktifitas politik keseharian mereka yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara belum mencerminkan prilaku yang sesuai dengan norma-norma agama. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap sisitem politik menurut Islam, mulai timbulnya kesadaran pluralisme, nasionalisme, globalisme dan kurangnya teladan pemimpin Islam pada umumnya. Sebagai contoh dalam prilaku terakhir tahun 1998, ternyata PDI dan Golkar masing-masing memperoleh urutan satu dan dua dalam perolehan suara. Sementara partai yang menyatakan sebagai “partai Islam” kurang mendapat dukungan masyarakat.
Seorang informan menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut:
” Sekarang di era modern dan globalisasi masyarakat cenderung kritis serta memiliki daya pilih relatif baik. Apalagi di masyarakat kelas menengah, yang nota bene berlatar belakang pendidikan tinggi dan berwawasan luas. Dengan demikian, faktor penyebab mengapa masyarakat memimilih PDIP dan Golkar, bukan partai Islam seperti Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, PPP, dan lain-lain. Di antranya adalah : (1) tumbnuhnya pluralisme,dan nasionalisme di masyarakat kelas menengahyang relatif tinggi, (2) terdapat ketidak percayaan terhad ap partai Islam itu sendiri, (3) kurangnya pengetahuan mengenai politik Islam itu sendiri, (4) karena interes pribadi/kelompoknya”.
2.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Kehidupan Ekonomi
Masyarakat kelas menengah dalam aspek kehidupan ekonomi, cenderung mengikuti pola ekonomi kapitalistik dalam berprilaku produktif, konsuntif, maupun distributif. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan, tumbuhnya kultur modern dan kurangnya pengetahuan  tentang sisitem ekonomi Islam. Berdasarkan pengamatan  dan wawancara mendalam,  diperlihatkan bahwa 90% lebih dari informan warga kelas menengah belum mengetahuai dan memahami prinsip-prinsi dan kaidah normatif ekonomi dalam Islam secara koprehensif. Mereka beranggapan bahwa agama (Islam) hanya mengurusi dan memberikan pengaturan tentang ibadah dalam arti sempit seperti zakat, sholat, haji, puasa dan lain-lainnya. Sementara masalah yang di luar “problem areas” I tersebut dipersepsi sebagai masalah yang perlu diatur, ditata dan dipertimbangakan oleh manusia sendiri tanpa tuntunan dari agama.
    Dalam hal ini seorang pengamat memberikan penilaian ilhwal dunia bisnis yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
“Dunia bisnis sangat sarat dengan persaingan. Untuk memperlancar urusan bisnis, perlu “human relation” yang baik dengansegenap “stakeholder” atau mitra yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan bisnis yang digeluti. Untuk memenangkan tender, misalnya, kita selektif mungkin menjalin hubungan baik    dengan panitia tender dengan caara apapun. Jadi, dlam dunia bisnis, berlaku prinsip yang penting berhasil dan memperolah keuntungan besar.   Praktek suap menkadi cara efektif dalam dunia bisnis, akibatnya diakui memang, sering kali dalam bisnis aturan agama tentang halal dan haram menjadi sesuatu yang kurang diperhatikan”.       
3.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Hubungan Sosial
Masyarakat kelas menengah pada kenyataannya cenderung mendasarkan mengacu pada pola interaksi sosial modern, yang cenderung mengacu pada nilai untung rugi. Penerimaan yang kuat atas nilai-nilai budaya modern, yang cenderung ”economic oriented” dan prakmatis merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap tumbuhnya fenomena tersebut, selain itu rendahnya tingkat pemahaman terhadap ajaran agama Islam tentang sisitem sosial turut mempengaruhinya. Dari uraian tersebut, dapat disimpulakan atas berbagai pendapat diantaranya sebagai berikut:
Pertama, tumbuhnya sikap menerima budaya modern secara berlebihan, sehingga menggeser nilai budaya yang bersumber dari agama atau adat istiadat yang dipersepsikan sebagai “tradisionalisme”
Kedua, faktor kesibukan kerja sehingga melahirkan sikap enggan untuk melakukan komunikasi dengan sesama warga.
Seorang warga lingkungan kelas tersebut melukiskan fenomena sosial yang terjadi di lingkungan huniannya.
Masyarakat di sini bileh dikatakan cenderung individualistik. Mereka diakui memeng, tidak saling ganggu urusan tetangganya. Prinsip elu... elu, gua...gua. Semua urusan kepentingan umum seperti keamanan, kerja bakti gotong royong dan sebagainya diserahkan kepada pihak lain. Ronda tidak perlu lagi, karena telah membayar Satpam. Demikian pula kerja bakti ditenderkan. Makanya pada suatu malam, ketika ada pencuri, tetangga/warga cuek-cuek saja. Hanya buka jendela melihat keluar dan tidur lagi. Mereka mempersepsi individualisme dan moderinsmesecara keliru.
4.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Aspek Kependidikan
Mayarakat kelas menengah pada umumnya kurang memperhatikan pendidikan agama. Orientasi hidup mereka cenderung ekonomik, materialistik dan prakmatik. Mereka lebih memperhatikan pendidikan yang lebih menekankan pengembangan pengetahuan, wawasan dan keterampilan praktis sebagai instrumen dan bekal hidup dan beradaptasi dengan perkembangan zaman di masa depan. Ilmu kedokteran, ekonomi dan manajemen menjadi subtansi yang dipersepsikan masyarakat sangat strategik, prospektif dan relevan bagi kebutuhan masa depan.
Sedangkan nilai-nilai dasar moralitas yang diajarkan agama Islam seperti perintah mengahrgai waktu agar tidak rugi, berbuat kebaikan, meninggalkan keburukan, saling berkasih sayang, mencintai persaudaran, mencintai perdamaian dan lain sebagainya, kurang mendapat perhatian dalam imlementasinya.

5.       Implementasi Norma Keagamaan dalam Gaya Hidup Keseharian
Prinsip-prinsip dasar normatif tentang gaya hidup keseharian sebagaimana digariskan agama, cenderung belum diwujudkan secara baik. Pemahaman akan ajaran Islam masih relatif kurang di satu pihak, dan pengaruh gaya hidup moderen di pihak lain tampak merupakan penyebab mengepa gaya hidup masyarakat muslim kelas menengah seperti itu.
Dalam pemilihan, pembelian, dan penggunaan (pemakaian) busana dan mode, umumnya, terutama kaum ibu belum menunjukkan atau mencerminkan ajaran agama yang sebenarnya. Begitu pula dalam penikamatan makanan dan minuman, mereka banyak yang berlebih-lebihan, misalnya; pesta ulang tahun, pernikahan, Tahun Baru dan sebagainya.
Beberapa informan mengakui dan berkomentar tentang fenomena pemanfaatan waktu luang untuk keluarga mereka.
Umumnya keluarga sering melakukan acara makan di restoran yang blebih mahal atau aneh menunya, seperti Jepang atau Eropa. Bahkan sebulan atau dua bulan sekali kami sengaja pergi rekreasi  ke Puncak atau tempat-tempat lain untuk menginap barangb sehari atau dua hari hanya untuk mencari suasana penuh. Soal biaya sangat relatif. 



BAB V
PENGALAMAN BERAGAMA PADA MASYARAKAT

Penulis memaparkan temuannya pada masyarakat muslim kelas menengah di Bekasi bahwa ritus keagamaan yang dilakukan sebagian masyarakat seperti: penempelan stiker bernuansa keagamaan, penggunaan simbol keagamaan, pergi haji, kegiatan yasinan, aqiqah dan sebagainya, secara eksperiensial, belum menunjukkan korelasi berarti dengan religiusitas pribadi keseharian. Penempelan stiker, pengucapan lafal-lafal religius, pergi haji dan sebagainya, masih cenderung merupakan tradisi yang biasa dilakukan, tanpa apresiasi dan pelibatan psikis secara mendalam. Seorang warga sepulang kegiatan yasinan saat dimintai alasan mengikuti kegiatan  tersebut menuturkan:
”Kegiatan yasinan di daerah sini masih dilakukan sementara warga. Biasanya diadakan ketika malaksanakan tahlilan. Manfaatnya, bagi sebagian warga sangat baik. Paling tidak untuk bersilaturrahim atau sebagai ajang pertemuan warga yang terlibat. Sedang penghayatan religiusnya (dalam diri partisipan) saya kira masih dipertanyakan. Hal tersebutkarena banyak diantara mereka yang belum bisa membaca dan menghayati”.
Pengalaman individu masyarakat kelas menengah yang dipenuhi pelbagai modernitas cenderung menumbuhkan kualias kognitif masyarakat tidak sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Rasionalisasi, materialisme, dan positivesme merupakan faktor modernitas yang mempengaruhi kondisi kesadaraan beragama masyarakat. Seorang tokoh kompleks perumahan Century garden mengakui bahwa:
“Penghuni/warga kompleks ini hampir 90% berlatar belakang pendidian tinggi dan mempunayi kedudukan penting di lingkungan kerjanya. Bahkan banyak diantara mereka yang mengelola perusahaan sendiri. Karena pada umumnya warga kompleks ini, bila dilihat dari fasilitas kehidupan dan gaya hidunya cenderung modern. Pertimbangan rasional, untng ruginya, efisiensi dan sebagainya merupakan ciri khas penduduk sini dalm melakukan aktifitasnya”.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ritus keagamaan pada masyarakat muslim kelas menengah masih sebatas kebiasaan, belum pada sampai kesadaraan yang timbul dalam diri mereka.

www.fahriassaif.blogspot.com

PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT



BAB I

PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT

A)     Konsep dan Dimensi
Bagi manusia, yang secara eksistensial-fitrati adalah “homo religious”, yang mana agama merupakan dimensi kebutuhan hidup yang sangat penting. Sehingga diakui, walau hingga kini kesepakatan konseptual ikhwal definisi agama yang dapat diterima semua pihak sulit terumuskan, namun dalam realitasnya, agama tetap ditempatkan sebagai institusi kultural yang sentral oleh masyarakat di sepanjang sejarah peradabannya. Oleh karena itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa 83% lebih penduduk dunia mengakui keberadaan agama. Dan hanya 16,4% saja yang karena faktor latar belakang tertentu menolak kehadiran agama dalam realitas kehidupan.
Emilie Durkheim, seorang sosiolog pemrakasa analisis sosiologis tentang agama yang mendefinisikan bahwa agama sebagai sistem kepecayaan dan praktek, dimana suatu masyarakat atau  kelompok  berjaga-jaga menghadapi persoalan terakhir. Dan juga agama merupakan seperangkat jawaban koheren atas dilema keberadaan manusia sehingga menjadikan kehidupan didunia lebih bermakna.
Dari rumusan definisi Durkheim mengenai agama dan sebagian besar sosiolog ini,  dapat dirumuskan bahwa pada dasarnya setiap agama, terutama agama wahyu (revealed religion) dan agama nir-wahyu (non-revealed or cultural religion), yang dalam hal ini memiliki tiga dimensi dasar religiositas (keberagamaan), yaitu: Pertama, adalah keyakinan beragama (religious belief) yang disebut pula dengan dimensi idiologis (ideological dimension). Dimensi ini berkaitan dengan pengakuan dan penerimaan terhadap sesuatu atau dzat “yang sakral”, “Yang Maha Besar” sebagai suatu kebenaran atau suatu kenyataan. Kedua, Praktek keagamaan (religious practice) atau bias disebut dengan dimensi ritualistic (ritualistic dimension). Dimensi beragama ini, berkaitan dengan aspek peribadatan, upacara-upacara peribadatan yang dilakukan pemeluknya dalam rangka menyembah, mengabdi, atau menghormati Tuhan yang diimaninya. Ketiga, pengalaman beragama (religious experience dimension) yang meliputi perasaan dan persepsi tentang proses kontaknya dengan apa yang diyakininya sebagai “the ultimate reality”, “devine power” atau Sang Ilahi, serata penghayatan terhadap hal-hal yang religius. Seperti halnya, ketika umat Muslim mendengar bacaan ayat suci Al-qur’an, suara adzan, atau Kur “Halleluyah” (kaum kristiani), yang mana dalam hal ini terjadi proses internalisasi sehingga membentuk struktur psikis (perasaan) tertentu yang diistilahi sebagai pengalaman beragama.
B)      Peran Agama bagi Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memegang peranan yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di tengah-tengah masyarakat tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku. Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting, dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan negara.
Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal kultur maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga agar masyarakat tetap konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai kemanusiaan yang mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta dapat saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah awal yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani.
Beberapa fungsi agama secara sosiologis dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama, fungsi edukatif, yanng berkaitan dengan upaya pemindahan dan pengalihan (transfer) nilai dan norma keagamaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, fungsi terdasar dan paling universal dari apa yang diperankan oleh hampir semua jenis agama baik kategori agama wahyu maupun bukan wahyu adalah bahwa agama memberikan orientasi dan motivasi serta membantu untuk mengenal dan memahami sesuatu hal yang ”sakral” atau makhluk tertinggi.
Kedua, agama berfungsi penyelamatan. Dalam kaitan ini, agama memberikan rasa kedamaian, ketenangan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai persoalan sulit yang dihadapinya. Agama membimbing dan mengarahkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan juga memberikan harapan-harapan ketika manusuia berada dalam situasi ketidakpastian, penderiataan, kekecewaan, frustasi, atau kemiskinan. Ketiga, adalah fungsi agama sebagai kontrol sosial (pengawasan sosial). Kontrol sosial yang dimaksud adalah seluruh pengaruh kekuatan yang menjaga terbinanya pola-pola kelakuan dan kaidah-kaidah sosial milik masyarakat. Dalam hal ini, agama sebagai sistem norma dan sistem nilai yang memberikan pembatasan (limitasi) mdan pengkondisian (conditioning) terhadap tindakan atau perilaku individu atau masyarakat, sehingga dapat mengarahkan tercapainya tujuan masyarakat itu sendiri. Jadi, agama dapat disimpulkan lebih jauh pada kenyataannya bukan semata merupakan persoalan keyakinan pribadi yang melekat dalam diri individu, melainkan juga memiliki dampak sosial bagi masyarakat secara keseluruhan sebahai hakikat kolektifnya. Dengan demikian, agama apapun namanya, sebagai sistem norma dan nilai maupun sebagai sistem relasi sosial mempunyai daya ubah (transformabilitas) bagi masyarakatnya, terutama bagi komonitas pemeluknya.


C)     Islam sebagai Agama Wahyu
Islam sebagai agama wahyu pada hakikatnya merupakan: a) suatu system keyakinan (belief system) dan sistem kaidah normatif (normative system) yang berasal dari Allah, yang mengatur tata kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam lainnya, b) yang semua itu bertujuan dengan mengarahkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Yang mana sebagai sistem nilai dan norma, Islam mempunyai dua sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Selain itu, juga mendasarkan diri pada sumber tambahan yaitu Al Ijtihad yang dalam bentuknya berupa Ijma’.
Akidah yang diposisikan sebagai akar dan pokok dalam agama Islam, yang mana Agama Islam mengajarkan konsep rukun Iman yang dikenal dengan Arkanul Iman yang merupakan rukun-rukun Iman. Sedangkan agama Islam kaitannya dengan akhlaq, yang pada dasarnya akhlaq Islam berkaitan dengan kaidah nilai yang mendasari tata hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan manusia (terhadap diri sendiri, tetangga, atau masyarakat) serta manusia dengan unsur alam non manusia.

BAB II
SEKULARISASI: FENOMENA SOSIO RELIJIUS

A.    Pengertian Sekularesasi
Istilah sekularesasi sara semantik memiliki arti atau makna yang besifat “univok” dalam arti memiliki ragam pengertian yng berfariasi namun bernuansa sama, dikarenakan konteks dan dan titik tolak yang berbeda. Kemudian dalam perkembangan historisnaya, istilah tesebut mengalami perkembangan semantik yang pesat. Sehingga sekularisasi kerap kali ditafsirkan Dan mendapat arti yang berbeda-beda tergantung pada topik, sudut pandang pembicaraan atau pada tujuan dan objek kajian yang digelutinya.
Oleh karena itulah, dalam rangka pemahaman terhadap konsep sekularisasi, niscaya diperlukan sekali pemahaman mengenai konsep Agama yang dijadikan titik pijak perumusan pengertian sekularisasi itu sendiri.
Dilihat dari perspektif di atas ( kelembagaan) maka agama dapat dipandang sebagai suatu organisasi, wadah, atau lembaga. Yakni suatu bentuk system social yang dibentuk olah para penganutnya ang berproses pada kekuata-kekuatan non empiric yang dipercayai dan dipergunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat umumnya.
 Dalam buku ini dijelaskan bahwa agama mempunyai kekuatan, wewenang yang memiliki peran dan fungsi fundamental mengurusi atau mengelola segenap aktivitas relijius. Diantaranya, agama berfungsi untuk mengatur dan melengapi kebutuhan relijius masyarakat atau kebutuan hidup yang terkait dengan nilai-nilai relijiusitas, humanitas, atau sepritualitas yang diperlukan oleh para penganutnya. Ada empat fungsi sekularisasi yang akan di jelaska yaitu:
Sekularisasi sebagai suatudecline of religion yaitu kemerosotan/ kemunduran suatu lembaga agama barang kali merupakan suatau dalil perihal skularisasi terpopuler dikalangan masyarakiat, yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa agama sebagai suatu embaga social-relijius yang mengalami penurunan bahkan lebih dari itu.
1.      Sekularisasi sebagai proses deferensiasi, yaitu merupakan bentuk perubahan dinamika progresif dalam suatu organisasi yang berkaitan dengan klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanya sama, atau proses dimana peran-peran masyarakat bertambah banyak dan meningkat spesialisasinya.
skularisasin sebagai proses rutinisasi, secara sosiologis dapat difahami sebagai gejala dari suatu proses skularisasi.
skularisasi sebagai proses pelepasan, yaitu pelepasan dari kehidupan dan nuninasi institusi agama atau kewanangan lembaga gereja.

B.     Sejarah Perkembangan Skularisasi
Modernitas dan kehidupan dalam sejarah peradaban dan kebudayaan moderen lahir sejak abad Renaisance, sekitar 1400-1600,  dan peradaban baru pada mulanya terjadi di italic, terus menjalar keseluruh penjuru Eropa. Ilmu pengetahuan, sastra, seni, dan tata cara peradaban baru memperlihatkan adanya perkembangan baru. Setelah sekitar 2000 tahunan, sekularisasi mulai hadir sebagai kekuatan yang memperjuangkan humanisme sekular, dengan mengumandangkan ajaran baru yang bersifat saintifik, rasiona dan naturalistic.
C.    Sekularisasi sebagai Proses Perubahan tentang PeranAgama dalam Masyarakat.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, agama mempunyai peran dan fungsi yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Terutama bagi masyrakat tradisional, yang pada umumnya sosio kulturalnya sangat menghargai nilai-nilai tradisional. Di samping itu juga peran tokoh agama berpungaruh besar atas proses kehidupan. Itulah bukti sejarah betapa hububgan masyrakat dan agama dalam kehidupam tradisional sangat kuat, lekat bahkan kadang menyatu. Dan masyrakat ini menganggap bahwa agama sebagai bagian dari keseluruhan hidupnya.
D.    Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tumbuhnya Sekularisasi.
Skularisasi secara kognitif diartikan sebagai proses perubahan perseosi terhadap peran atai fungsi dan kedudukan agama dalam masyrakat, dimana agama tidak lagi dianggap nsebagai dominant dan determinative dalam proses kehidupan manusia, secara filosofis dipengaruhi oleh berbagai madzhab pemikiran filsafat. Aliran yang mempengaruhi antara lain adalah rasionalisme, empirisme, positivisme, materialisme, dan juga saintisme.
E.     Kecenderungan  Sekularisasi.
Yaitu kecondongan yang menjadi arah dari satu gejala. Dengan demikian, apa yang dimaksud yaitu sebagai suatu proses skularisasi. Karena itu apa yang  hendak dipebincangkan dalam hal ini adalah bagaimana kecenderungan arah skularisasi  ynag notabenanya merupakan suatu proses circulus vitiosus dari suatu gejala sosio-kultural dan sosio idiologos. Setelah kita amati maka ada dua kecenderungan, yaitu kecenderunga yang nampak terjadi dan mengejala terhadap masyarakat beragam khususnya, dan untuk masyraka umunya adalah:.1.Kecenderungan rasionalisasi. 2.kecenderungan skularisme


BAB III
PERAN INSTITUSI AGAMA/ KEAGAMAAN
 DALAM MASYARAKAT

Pemeranan institusi agama / keagamaan (Islam) oleh masyarakat Muslim kelas menengah berkaitan dengan aspek, bagaimana masyarkat tersebut memposisikan, memerankan, atau memfungsikan agama dalam kehidupan kesehariannya. Adapun yang dimaksud dengan institusi adalah organisasi atau forum yang mewadahi dan berfungsi mengelola segenap aktifitas atau kebutuhan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) masyarakat. Sub aspek atau indikator-indikator yang berkaitan dengan institusi keagamaan antara lain adalah pemeranan atau persepsi tentang organisasi keagamaan serta tingkat partisipasi keagamaan masyarakat kelas menengah.
Institusi keagamaan termasuk salah satu dari lima institusi dasar yang harus terdapat dalam suatu masyarakat. Ke lima institusi itu adalah rumah-tangga, pemerintahan, pendidikan, hukum, dan agama. Institusi keagamaan diperlukan untuk melayani umat dalam melaksanakan kehidupan keagamaannya serta memelihara kelangsungan dan pewarisan agama kepada umatnya. Karena itu dalam masyarakat terdapat institusi peribadatan/kebaktian seperti masjid, gereja, pura, dan wihara. Selain itu terdapat institusi keagamaan lainnya. Meskipun fungsinya sama, tetapi suatu instusi agama berbeda secara nyata dari institusi agama lain. Umat suatu agama, merupakan indikator eksistensinya agama itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia terdapat umat Islam, umat Protestan, umat Katolik, umat Hindu, dan umat Budha. Kehidupan keagamaan umat suatu agama sangat bervariasi baik dari segi pengetahuan agama maupun pelaksanaan agama.
A)      Pemeranan Tokoh Agama dalam Masyarakat
Pada dekade terakhir telah terjadi perubahan persepsi masyarakat Muslim kelas menengah tentang keberadaan dan peranan institusi agama/ keagamaan Islam. Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan serta angket, menunjukkan bahwa: Sebagian besar atau lebih dari 60% masyarakat kelas ini kurang memandang peran dan kedudukan serta fungsi tokoh agama pada posisi yang sangat penting dan menentukan dalam proses kepemimpinan di masyarakat. Tokoh agama sebaliknya dipersepsi hanya sebagai pemimpin yang berfungsi dan bertanggung jawab atas berbagai kegiatan keagamaan dalam pengertian sempit yang mengurusi kegiatan Ibadah sehari-hari, seperti penyuluhan agama, memimpin upacara ritual keagamaan (menjadi imam masjid, khotib, pembaca do’a, menikahkan, mengurusi peringatan hari besar Islam, dan ritus keagamaan lainnya). Adapun posisi peran agama seperti halnya yang diperankan oleh kyai dan ustadz yang tidak lagi sebagai pengambil keputusan paling dominan di masyarakat. Yang tidak seperti dekade lalu di mana tokoh agama diperankan sangat strategis dan determinatif dalam pengambilan keputusan. Dewasa ini, mereka hanya diposisikan sebagai salah satu pihak yang dipersepsi dapat memberi masukan bagi pembuatan keputusan berkenaan dengan persoalan masyarakat luas.
Adapun dampak dari penerimaan derajat ketokohan pemuka agama, maka otoritas tokoh agamapun mengalami penurunan. Perintah, instruksi ataupun himbauan yang dikeluarkan oleh tokoh agama (kyai, ustadz, politisi agama) menjadi kurang efektif tingkat implementasinya. Walau tidak dapat dipungkiri masih terdapat sebagian kecil tokoh agama sangat dihormati, diikuti perintah dan nasehatnya, namun relative kecil jumlahnya. Yang tidak seperti beberapa dekade lalu, perintah seorang tokoh agama sangat dipatuhi umat (masyarakat) nya. Tapi kenyataannya, kini masyarakat (umat) cenderung menseleksi terlebih dahulu sebelum melaksanakan atau menolaknya. Masyarakat cenderung memilih jenis apa yang diberikan, sejauh mana tingkat atau bobot perintah tersebut, bila di laksanakan serta apa resiko yang bakal diterima jika dilaksanakan.
Tokoh agama pada beberapa dekade lalu, terutama pada era pra-kemerdekaan memiliki wewenang yang sangat tinggi sehingga pendapat, keputusan, maupun nasehatnya hamper selalu diterima bulat oleh pengikutnya (jamaah) tanpa berkir panjanga ataupun terlalu lama dalam mengambil keputusan tersebut. Namun demikian, pada dekade terakhir di ujung abad 20 ini, ternyata otoritas tokoh agama di mata kelas menengah mengalami pergeseran posisinya. Otoritasnya yang tidak lagi selalu efektif diterima, apalagi implementasikan oleh jamaah. Yang tidak seperti jauh sebelumnya, daya legitimasi tokoh agama atau kyai menurun.
Perubahan atau pergeseran persepsi masyarakat tentang fungsi wewenang kharismatik dan wewenang legal tamp-ak mempengaruhi sikap atau persepsi masyarakat kelas menengah yang relative kurang menempatkan wewenang tokoh agama pada tempat paling atas dalam berbagai aspek. Akibat perubahan yang terjadi dalam aspek kemampuan mempengaruhi umat dan daya legimitasi otoritas tokoh agama yang cenderung mengalami penurunan, maka penghormatan (social respect) dan kredibilitas tokoh agama juga cenderung menurun pula.
B)      Pemeranan Organisasi keagamaan dalam Masyarakat
Organisasi merupakan entitas yang memberi peluang masyarakat (kelompok) untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi dengan demikian, ditandai oleh perilaku anggotanya kea rah pencapaian tujuan (general oriented behavior), yang tidak bias dicapai sendiri. Organisasi agama/ keagamaan oleh karena itu merupakan entitas yang mewadahi aktivitas keagamaan dalam upayanya mencapai suatu tujuan. Dalam hal ini, organisasi keagamaan yang dimaksud meliputi institusi atau lembaga keagamaan baik formal maupun informal. Sebagai institusi keagamaan, maka organisasi keagamaan ini di satu pihak bisa dipahami sebagai wadah yang mengatur/ mengelola aktivitas keagamaan sebagai kebutuhan dasarnya dan di pihak lain dapat dikonsepkan pula sebagai cara bertindak yang mengikat. Adapun dalam pengertian terakhir, institusi agama dipandang sebagai keseluruhan komponen yang dipadukan yang dinilainya merupakan bentuk cara hidup dan cara bertindak yang mengikat. Dan konsekuensinya kegiatan –kegiatan yang dilakukan dalam institusi harus disesuaikan dengan peraturan institusi.
Demekian pula, pelanggaran terhadap norma dan pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal. Dan dalam institusi, keterikatan norma dan pola tersebut diperankan begitu penting bahkan diperkuat dalam ataupun dengan sanksi demi tercapainya kelestarian ketahanan secara berkesinambungan. Dalam penilaian ini, pemeranan organisasi keagamaan dalam masyarakat dapat difokuskan pada bagaimana pendudukan atau pemungsian organisasi atau institusi keagamaan dikalangan masyarakat. Dengan demikian masalah yang difokus adalah meliputi pengetahuan masyarakat Muslim kelas menengah terhadap berbagai organisasi baik formal maupun informal, penerimaan atas kehadiran, keterlibatan dalam organisasi serta harapan yang ditumpukan kepadanya.
C)     Partisipasi Keagamaan Masyarakat
Partisipasi keagamaan sebagai sub-masalah berkaitan dengan peran agama meliputi beberapa indikator untuk mengukurnya. Indikator-indikator tersebut adalah partisipasi (masyarakat) dalam shalat berjama’ah, partisipasi dalam pengajian, partisipasi dalam pendidikan keagamaan termasuk aspirasi dan motivasi, keterdaftaran (enrolledness) dan keaktifan dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan, keaktifan mendengarkan/ menyimak siaran keagamaan di radio dan TV serta keterlibatan dalam aktifitas sosial-keagamaan lain.
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam aktifitas pengajian dan pendidikan agama (keagamaan) menurut pengamatan beberapa informan menunjukkan keadaan kurang bahkan tidak memadai jika dilihat dari tuntutan agama itu sendiri. Pengajian, baik pengajian subuhan (kuliah shubuh), mingguan atau rutin bulan, hanya diikuti sejumlah masyarakat, karena dalam hal ini massyarakat kurang ter tarik untuk mengikutinya (pengajian yang diadakan) dikalangan masyarakat sekitar. Partisipasi aktif masyarakat, ketika mendengarkan siaran keagamaan yang biasa ditayangkan waktu shubuh dan hari-hari besar agama Islam kurang diminati. Oleh karena itu, hasil penelitiannya menunjukkan betapa rendahnya frekuensi kelas ini mengikuti acara siaran keagamaan (hanya 3,4%), apalagi disbanding pemirsa program hiburan yang mencapai lebih dari 50%-nya serta siaran berita (32,5%) dan program lainnya.
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian terhadap indikator-indikator berkaitan dengan pemeranan tokoh agama, pemeranan tokoh agama terhadap organisasi/ lembaga keagamaan serta partisipasi keagamaan masyarakat, bisa ditarik kesimpulan:
1)      Terjadi Proses Menurunnya Wibawa Pemimpin/ Tokoh Agama
Pada dekade terakhir, penghargaan masyarakat Muslim kelas menengah terhadap pemimpin/ tokoh agama (ulama’, pejabat Departemen Agama, ustadz, mubaligh, dan lain-lain) relatif menurun atau berkurang. Pada dekade terakhir ini, nampak pemimpin agama hanya dalam aktifitas keagamaan saja seperti kegiatan ibadah sehari-hari, peringatan hari-hari besar, dan sxebagainya. Namun, pada kegiatan-kegiatan non-keagamaan, pemimpin agama kurang memperoleh posisi yang menentukan.
2)      Terjadinya Perubahan Persepsi Menurunnya Signifikasi Sosial Lembaga Keagamaan
Berdasarkan temuan, diindikasikan bahwa lembaga keagamaan kurang popular bagi masyarakat Muslim kelas menengah. Hanya beberapa jenis lembaga keagamaan yang dilihat dan diperankan  oleh masyarakat seperti lembaga pendidikan Majelis Taklim dan lembaga pernikahan.


3)      Rendahnya Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Aktifitas Keagamaan
Terjadinya perubahan persepsi masyarakat tentang keberadaan dan apa yang diperankan agama dalam kiprah kehidupan masyarakat, secara sosiologis, tampak menjadi penyebab dominant rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam aktifitas keagamaan.

BAB IV
IMPLEMENTASI NORMA KEAGAMAAN

Penulis memaparkan implementasi norma keagamaan pada masyarakat kelas menengah (Muslim) yang ada di Bekasi dalam 5 (lima) aspek, yakni: kehidupan politik, kehidupan ekonomi, hubungan sosial, kependidikan dan gaya hidup.
1.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Kehidupan politik
 Dalam kehidupan politik, masyarakat kelas menengah sebagian besar dalam memilih pemimpin, baik pemimpin lokal maupun nasional cenderung didasarkan pada kriteria dan pertimbangan rasional sesuai dengan interes pribadi atau kelompok. Mereka belum mempergunakan kriteria yang digariskan oleh agama yang dianutnya. Demikian juga dalam aktifitas politik keseharian mereka yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara belum mencerminkan prilaku yang sesuai dengan norma-norma agama. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap sisitem politik menurut Islam, mulai timbulnya kesadaran pluralisme, nasionalisme, globalisme dan kurangnya teladan pemimpin Islam pada umumnya. Sebagai contoh dalam prilaku terakhir tahun 1998, ternyata PDI dan Golkar masing-masing memperoleh urutan satu dan dua dalam perolehan suara. Sementara partai yang menyatakan sebagai “partai Islam” kurang mendapat dukungan masyarakat.
Seorang informan menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut:
” Sekarang di era modern dan globalisasi masyarakat cenderung kritis serta memiliki daya pilih relatif baik. Apalagi di masyarakat kelas menengah, yang nota bene berlatar belakang pendidikan tinggi dan berwawasan luas. Dengan demikian, faktor penyebab mengapa masyarakat memimilih PDIP dan Golkar, bukan partai Islam seperti Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, PPP, dan lain-lain. Di antranya adalah : (1) tumbnuhnya pluralisme,dan nasionalisme di masyarakat kelas menengahyang relatif tinggi, (2) terdapat ketidak percayaan terhad ap partai Islam itu sendiri, (3) kurangnya pengetahuan mengenai politik Islam itu sendiri, (4) karena interes pribadi/kelompoknya”.
2.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Kehidupan Ekonomi
Masyarakat kelas menengah dalam aspek kehidupan ekonomi, cenderung mengikuti pola ekonomi kapitalistik dalam berprilaku produktif, konsuntif, maupun distributif. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan, tumbuhnya kultur modern dan kurangnya pengetahuan  tentang sisitem ekonomi Islam. Berdasarkan pengamatan  dan wawancara mendalam,  diperlihatkan bahwa 90% lebih dari informan warga kelas menengah belum mengetahuai dan memahami prinsip-prinsi dan kaidah normatif ekonomi dalam Islam secara koprehensif. Mereka beranggapan bahwa agama (Islam) hanya mengurusi dan memberikan pengaturan tentang ibadah dalam arti sempit seperti zakat, sholat, haji, puasa dan lain-lainnya. Sementara masalah yang di luar “problem areas” I tersebut dipersepsi sebagai masalah yang perlu diatur, ditata dan dipertimbangakan oleh manusia sendiri tanpa tuntunan dari agama.
    Dalam hal ini seorang pengamat memberikan penilaian ilhwal dunia bisnis yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
“Dunia bisnis sangat sarat dengan persaingan. Untuk memperlancar urusan bisnis, perlu “human relation” yang baik dengansegenap “stakeholder” atau mitra yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan bisnis yang digeluti. Untuk memenangkan tender, misalnya, kita selektif mungkin menjalin hubungan baik    dengan panitia tender dengan caara apapun. Jadi, dlam dunia bisnis, berlaku prinsip yang penting berhasil dan memperolah keuntungan besar.   Praktek suap menkadi cara efektif dalam dunia bisnis, akibatnya diakui memang, sering kali dalam bisnis aturan agama tentang halal dan haram menjadi sesuatu yang kurang diperhatikan”.       
3.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Hubungan Sosial
Masyarakat kelas menengah pada kenyataannya cenderung mendasarkan mengacu pada pola interaksi sosial modern, yang cenderung mengacu pada nilai untung rugi. Penerimaan yang kuat atas nilai-nilai budaya modern, yang cenderung ”economic oriented” dan prakmatis merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap tumbuhnya fenomena tersebut, selain itu rendahnya tingkat pemahaman terhadap ajaran agama Islam tentang sisitem sosial turut mempengaruhinya. Dari uraian tersebut, dapat disimpulakan atas berbagai pendapat diantaranya sebagai berikut:
Pertama, tumbuhnya sikap menerima budaya modern secara berlebihan, sehingga menggeser nilai budaya yang bersumber dari agama atau adat istiadat yang dipersepsikan sebagai “tradisionalisme”
Kedua, faktor kesibukan kerja sehingga melahirkan sikap enggan untuk melakukan komunikasi dengan sesama warga.
Seorang warga lingkungan kelas tersebut melukiskan fenomena sosial yang terjadi di lingkungan huniannya.
Masyarakat di sini bileh dikatakan cenderung individualistik. Mereka diakui memeng, tidak saling ganggu urusan tetangganya. Prinsip elu... elu, gua...gua. Semua urusan kepentingan umum seperti keamanan, kerja bakti gotong royong dan sebagainya diserahkan kepada pihak lain. Ronda tidak perlu lagi, karena telah membayar Satpam. Demikian pula kerja bakti ditenderkan. Makanya pada suatu malam, ketika ada pencuri, tetangga/warga cuek-cuek saja. Hanya buka jendela melihat keluar dan tidur lagi. Mereka mempersepsi individualisme dan moderinsmesecara keliru.
4.      Implementasi Norma Keagamaan dalam Aspek Kependidikan
Mayarakat kelas menengah pada umumnya kurang memperhatikan pendidikan agama. Orientasi hidup mereka cenderung ekonomik, materialistik dan prakmatik. Mereka lebih memperhatikan pendidikan yang lebih menekankan pengembangan pengetahuan, wawasan dan keterampilan praktis sebagai instrumen dan bekal hidup dan beradaptasi dengan perkembangan zaman di masa depan. Ilmu kedokteran, ekonomi dan manajemen menjadi subtansi yang dipersepsikan masyarakat sangat strategik, prospektif dan relevan bagi kebutuhan masa depan.
Sedangkan nilai-nilai dasar moralitas yang diajarkan agama Islam seperti perintah mengahrgai waktu agar tidak rugi, berbuat kebaikan, meninggalkan keburukan, saling berkasih sayang, mencintai persaudaran, mencintai perdamaian dan lain sebagainya, kurang mendapat perhatian dalam imlementasinya.

5.       Implementasi Norma Keagamaan dalam Gaya Hidup Keseharian
Prinsip-prinsip dasar normatif tentang gaya hidup keseharian sebagaimana digariskan agama, cenderung belum diwujudkan secara baik. Pemahaman akan ajaran Islam masih relatif kurang di satu pihak, dan pengaruh gaya hidup moderen di pihak lain tampak merupakan penyebab mengepa gaya hidup masyarakat muslim kelas menengah seperti itu.
Dalam pemilihan, pembelian, dan penggunaan (pemakaian) busana dan mode, umumnya, terutama kaum ibu belum menunjukkan atau mencerminkan ajaran agama yang sebenarnya. Begitu pula dalam penikamatan makanan dan minuman, mereka banyak yang berlebih-lebihan, misalnya; pesta ulang tahun, pernikahan, Tahun Baru dan sebagainya.
Beberapa informan mengakui dan berkomentar tentang fenomena pemanfaatan waktu luang untuk keluarga mereka.
Umumnya keluarga sering melakukan acara makan di restoran yang blebih mahal atau aneh menunya, seperti Jepang atau Eropa. Bahkan sebulan atau dua bulan sekali kami sengaja pergi rekreasi  ke Puncak atau tempat-tempat lain untuk menginap barangb sehari atau dua hari hanya untuk mencari suasana penuh. Soal biaya sangat relatif. 



BAB V
PENGALAMAN BERAGAMA PADA MASYARAKAT

Penulis memaparkan temuannya pada masyarakat muslim kelas menengah di Bekasi bahwa ritus keagamaan yang dilakukan sebagian masyarakat seperti: penempelan stiker bernuansa keagamaan, penggunaan simbol keagamaan, pergi haji, kegiatan yasinan, aqiqah dan sebagainya, secara eksperiensial, belum menunjukkan korelasi berarti dengan religiusitas pribadi keseharian. Penempelan stiker, pengucapan lafal-lafal religius, pergi haji dan sebagainya, masih cenderung merupakan tradisi yang biasa dilakukan, tanpa apresiasi dan pelibatan psikis secara mendalam. Seorang warga sepulang kegiatan yasinan saat dimintai alasan mengikuti kegiatan  tersebut menuturkan:
”Kegiatan yasinan di daerah sini masih dilakukan sementara warga. Biasanya diadakan ketika malaksanakan tahlilan. Manfaatnya, bagi sebagian warga sangat baik. Paling tidak untuk bersilaturrahim atau sebagai ajang pertemuan warga yang terlibat. Sedang penghayatan religiusnya (dalam diri partisipan) saya kira masih dipertanyakan. Hal tersebutkarena banyak diantara mereka yang belum bisa membaca dan menghayati”.
Pengalaman individu masyarakat kelas menengah yang dipenuhi pelbagai modernitas cenderung menumbuhkan kualias kognitif masyarakat tidak sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Rasionalisasi, materialisme, dan positivesme merupakan faktor modernitas yang mempengaruhi kondisi kesadaraan beragama masyarakat. Seorang tokoh kompleks perumahan Century garden mengakui bahwa:
“Penghuni/warga kompleks ini hampir 90% berlatar belakang pendidian tinggi dan mempunayi kedudukan penting di lingkungan kerjanya. Bahkan banyak diantara mereka yang mengelola perusahaan sendiri. Karena pada umumnya warga kompleks ini, bila dilihat dari fasilitas kehidupan dan gaya hidunya cenderung modern. Pertimbangan rasional, untng ruginya, efisiensi dan sebagainya merupakan ciri khas penduduk sini dalm melakukan aktifitasnya”.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ritus keagamaan pada masyarakat muslim kelas menengah masih sebatas kebiasaan, belum pada sampai kesadaraan yang timbul dalam diri mereka.